Jumat, 18 Januari 2013

Tembang Macapat


Asalamu'alaikum wr.wb,,,, 
Ditengah-tengah gempuran budaya-budaya asing, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah yang terus berupaya menggerus warisan budaya dan tradisi bangsa kita. Yang akan mengakibatkan lambat laun menghilanglah kebudayaan kita, terkalahkan dengan hingar bingar kebudayaan asing. Maka dari itu disini penulis bertujuan untuk "nguri-nguri kabudayan jawi".  Kali ini sebagai Wong Ndeso, penulis akan membahas salah salah satu kebudayaan kita dari tanah jawa yaitu tembang macapat. Kenapa tanah jawa, ya memang penulis asalnya dari "tlatah kejawen" so, untuk kebudayaan yang lain akan penulis bahas dilaen waktu yaaaaaa,,. 


Tembang macapat adalah salah satu jenis tembang disamping tembang gedhe, tengahan, dan dolanan. Tembang macapat yang juga biasa disebut dengan tembang cilik ini diperkirakan sudah ada sejak jaman Majapahit Raja Prabu Brawijaya VII tahun 1478 dan berkembang pada jaman Demak serta jaman selanjutnya. Penyebaran tembang ini ke wilayah timur dari Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) sampai di Bali dan ke wilayah barat sampai Sunda. Hal ini dapat dibenarkan karena hingga saat ini di Bali, Jawa dan Sunda masih terdapat tembang macapat dan masih banyak kesamaannya baik fungsi, nama tembang maupun aturannya. Buku-buku “kuna” (serat) seperti serat “Srikandhi Meguru Manah, Centhini, Dewa Ruci, Wulangreh, Wedhatama, Tripama”, adalah hasil karya sastra jawa yang ditulis dalam bentuk tembang macapat. Pada cakepannya (teksnya) mengandung sanepan, paribasan, wangsalan, sandi asma, sasmita, purwakanthi dan parikan, yang merupakan ciri sastra timur (Jawa) dan juga menunjukkan keindahan bahasa. Lebih dari pada itu dongeng-dongeng, cerita-cerita, dan sejarah terdapat pula dalam tembang macapat, yang dalam hal ini merupakan bahasa baku untuk pendidikan budi pekerti dan ajar sikap laku utama. Serat-serat semacam inilah yang biasanya dibaca dalam suatu keperluan tertentu untuk menghabiskan waktu semalam suntuk dengan berjaga (lek-lekan). Keperluan itu antara lain untuk upacara selapanan bayi (pada hari ke-35 sejak kelahiran bayi), khitanan, mendirikan rumah, syukuran dan nadzar.

Tembang jawa macapat dapat digolongkan menjadi 11 tembang, yang menggambarkan jalannya kehidupan manusia sejak didalam kandungan ibunya sampai meninggal mengghadap Sang Maha Kuasa. Diantaranya adalah : 
1. Maskumambang
2. Mijil
3. Kinanthi
4. Sinom
5. Asmaradana
6. Gambuh
7. Dhandanggula 
8. Durma
9.Pangkur
10. Megatruh
11. Pocung

Maskumambang menyiratkan tentang keberadaan manusia ketika masih menjadi bayi dalam rahim atau kandungan sang ibu. Kata “mas” artinya “tidak diketahui laki-laki atau perempuan”. Kata “kumambang artinya “terapung”. Jadi maskumambang diartikan sebagai sesuatu yang belum diketahui apakah itu laki-laki atau perempuan yang kumambang dalam rahim ibunya (gua garbha). Dalam rahim inilah ia terapung talipusatnya dan belum bisa diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan.

Kemudian ketika si bayi dilahirkan ia akan keluar dari gua garbha sang ibu. Ini dilambangkan dengan tembang Mijil. Kata “mijil” berarti “keluar”. Jadi bayi yang keluar dari rahim sang ibu atau lahir ke dunia disebut dengan istilah Jawa “mijil sakeng gua garbha sang biyung“.

Setelah itu si bayi akan tumbuh menjadi seorang anak kecil. Pada masa ini ia harus kinanthi atau disertai, ditungui atau dibimbing oleh seorang pembimbing artinya anak harus melalui proses pendidikan (paedagogiek). Fase merupakan lambang dari tembang Kinanthi. Sesuai asal katanya “kanthi  yakni ˝serta atau nanti˝, maka seorang anak yang masih kecil harus disertai oleh seorang pembimbing. Pada saat ini seseorang mulai belajar di sekolah (brahmacari).

Seiring dengan berjalannya waktu, maka anak akan tumbuh menjadi remaja atau bocah ênom atau ênom-noman (taruna). Fase ini dilambangkan lewat tembang Sinom. Sinom juga merupakan nama bagi daun pohon asam yang masih muda. Dalam istilah konotasi Bahasa Indonesia orang yang masih muda belia dikatakan sebagai “daun muda”.

Pada masa muda inilah maka seseorang sudah waktunya mengenal rasa cinta. Ini merupakan kodrat manusia sebagai makhluk yang juga dilahirkan dari benih-benih cinta. Masa ini digambarkandalam bentuk tembang macapat Asmarandana. Hal ini sesuai dengan arti kata-kata yang membentuk gabungan kata “asmarandana“. Kata “asmara” berarti “cinta” dan “dana” artinya “memberi”. Dengan demikian kata asmarandana berarti saling memberi dan menerima cinta. Ada pula yang mengartikan kata “ndana” ini dari kata “dahana” yang artinya “api”. Maksudnya ketika masa muda ini api cinta seseorang akan berkobar-kobar dan sangat sulit untuk dipadamkan.

Sehabis memasuki masa-masa indah atau masa berpacaran yang didasarkan pada rasa cinta tersebut, maka kedua insan itu harus diberikan persetujuan (sarujuk) sebagai obat (gambuh) yang bisa menurunkan panasnya kobaran api cinta mereka. Ini dilambangkan dengan adanya tembang Gambuh sebagaimana maksud dari tembang itu sendiri. Dan gambuh yang dimaksud adalah upacara perkawinan (wiwaha homa). Setelah itu mereka harus melanjutkannya ke jenjang hidup berumah tangga (bebrayan) untuk satu tujuan yakni kebahagiaan hidup bersama (jagadhita)

Tatkala itulah mereka mulai mengarungi bahtera rumah tangganya baik dalam suka maupun duka. Ini dilambangkan dengan tembang Dhandhanggula. Kata “dhandang” berarti “burung gagak” yang melambangkan kesedihan atau duka. Sedangkan kata “gula” berarti “gula” yang mempunyai rasa manis sebagai lambang kebahagiaan atau sukha. Untuk itulah maka setiap keluarga dalam masyarakat Jawa harus mampu melampui kehidupan berumah tangga tersebut yang kadang-kadang manis seperti gula tetapi kadang kala mereka juga harus mau untuk menelan pil pahit sebagai obat untuk menjadikan mereka lebih tangguh, tanggon dan tanggap dalam setiap keadaan.

Di sela-sela perjalanan untuk menggapai semua cita-cita dalam hidup berumatangga tersebut, maka mereka diwajibkan untuk dapat memberikan yang terbaik (drêma), baik untuk keluarga (terutama anak-istrinya), sesamanya, masyarakat, bangsa dan negara. Kewajiban tersebut pada hakikatnya merupakan dharmaning bêbrayan agung (dharma bagi mereka yang sudah berumah tangga atau grhastha). Kesemua itu merupakan lambang dari tembang Durma. Kata durma ini sendiri berkaitan erat secara fonologis dengan kata derma atau drêma. Karena perubahan bunyi, maka ˝derma˝ bisa menjadi ˝durma˝.

Setelah melewati bahtera rumah tangga maka sudah saatnya mereka mulai mengurangi hawa nafsu dan mungkur dari hal-hal yang berbau kemewahan dunia (wanaprastha) apalagi mereka sudah mulai uzur. Hal ini dilambangkan dengan tembang Pangkur. Kata ini berasal dari kata “pungkur” atau “mungkur” yang berarti “belakang, sudah lewat, lalu”. Dalam tradisi Jawa setelah manusia menginjak usia tua dan melewati masa berumahtangga (pungkur) maka ia harus bisa menjadi sêsêpuh minimal bagi keluarga sendiri agar bisa memberikan petuah-petuah kepada anak cucunya. Dan memang dalam khasanah sastra Jawa tembang Pangkur ini biasanya banyak mengandung petuah-petuah yang berisikan pada ngelmu tuwa guna memperbaiki (nyepuh) sesuatu agar menjadi baik kembali.

Dalam usianya yang semakin tua setelah menjalani hidup pasca berumahtangga, maka bagi manusia di dunia hanyalah tinggal menunggu giliran datangnya Sanghyang Yamadipati yang akan menjemput ajalnya. Untuk itu sebelumnya mereka harus mempersiapkan bekal yang cukup agar kelak ketika ia mati (mêgatruh) atmannya tidak bingung lagi. Kondisi ini merupakan perlambang yang merupakan kiasan pada tembang Megatruh. Kata ini berasal dari kata “pêgat” yang berarti “putus” dan “ruh” yang berarti “nyawa”. Artinya putusnya hubungan antara nyawa dengan badan. Selain itu, secara badani ia sudah megat trah (berpisah dengan keturunannya).

Setelah mati (megatruh) maka atman akan meninggalkan badan manusia di dunia yang fana ini. Badan wadag yang ditinggalkan itu biasanya akan dirawat sebagaimana ia merawat dirinya ketika masih hidup. Jasadnya akan dimandikan hingga akhirnya dibungkus dengan kain putih (dipocong). Ini adalah makna dari adanya tembang Pucung yang juga berarti pocong. Setelah dipocung atau dipocong maka ia akan dikembalikan ke rahim ibu pertiwi untuk disemayamkan di sana. Selain itu, jika pada saat di dalam rahim ibu kandungnya ia ditemani sadulur papat (lambang Maskumambang dengan guru gatra 4), maka pada saat dipocong di rahim ibu pertiwi tersebut ia harus mengembalikan sadulur papat-nya (lambang Pucung dengan guru gatra 4) hingga nantinya ia dapat kembali kepada gustinya (manunggaling kawula gusti atau moksa). “ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan mati”.

Sekian tulisan dari penulis semoga kita bertambah untuk mencintai kebudayaan kita sendiri...
Wasalamu'alaikum wr.wb
Sumber : Eyang penulis, Guru bahasa Jawa, Keponakan penulis Mas Yudi (abdi dalem keraton), blog tetangga sebelah,,,

2 komentar:

  1. jadi inget waktu masih sekolah SD-SMA di Solo dulu..-____-
    belajar nembang sama mulok bahasa jawa..

    mugi-mugi menawi kita sedaya tansah nguri-uri budaya jawi, mangke putro ngantos putu kita sedaya saged mangerteni sedaya budaya ingkang wonten ing tanah jawi..

    salam lestari..
    mampir ke EPICENTRUM
    juga yaa..:p

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin mas rizki,,,
      monggo kito jagi kabudayan jawi sesarengan,,,

      Hamemayu Hayuning Bawana,,,
      salam lestari kopi hitam,,,

      Hapus